sumber poto: www.serikatnews.com
Salah satu hal penting yang didapat pada saat kuliah adalah budaya berpikir rasional dan kritis. Ketika penulis berbincang dengan salah seorang guru dari ilmu sejarah, menurutnya data adalah sesuatu yang masih belum diolah oleh siapa pun . Fakta adalah sesuatu yang sudah terpengaruhi oleh orang ketiga sebagai saksi. Saat ini, kita sedang dihadapkan dengan fakta dan data yang simpang siur. Dan kita sedang bertarung dengannya. Maka siapa yang memenangkan pertarungan? Pertanyaan tersebut belum bisa terjawab hingga saat ini. Data yang ada masih simpang siur. Tapi faktanya digiring agar orang-orang percaya oleh fakta yang dibawa oleh masing-masing calon pemimpin bangsa ini.
Salah satu pakar strategi ternama asal China bernama Sun Tzu mengatakan bahwa cara kita mengalahkan lawan harus dengan menguasai data lawan. Bukan fakta, tapi data lawan. Salah mengelola data, maka siapa pun akan kalah dalam peperangan. Sebagai contoh, kehancuran Mongolia di Indonesia akibat salah data. Dimana Mongolia berkoalisi dengan Raden Wijaya untuk menyerang Kartanegara. Namun kenyataannya, Raden Wija hanya pura-pura menyerang Kartenegara. Padahal yang diserang bukanlah Karta Negara. Melainkan menantunya Karta Negara, raja yang sudah berganti sekaligus lawan politik dari Raden Wijaya. Adapun Karta Negara yang sesungguhnya sudah tiada. Mongolia termakan tipuan Raden Wijaya. Setelah Mongolia berhasil mengalahkan menantunya Karta Negara, Mongolia diserang habis oleh Raden Wijaya pada saat mereka berpesta pora. Belajar dari peristiwa tersebut, maka kita harus mengusai data dan fakta yang benar. Jangan sampai menjadi korban dari hoax.
Lantas jika dihubungkan ke persoalan politik Indoensia saat ini, bagaimana suatu partai politik konvensional memenangkan kontestati pemilihan umum?
Maka cara yang paling mudah adalah dengan menggunakan cara-cara VOC penjajah dahulu, yaitu mempertahankan kebodohan masyarakat! Itulah kampanye yang paling efektif, membodohi masyarakat bagaimana pun caranya. Sepertinya pembaca lebih mengetahui dari lapangan langsung.
Di masa awal-awal Indonesia akan merdeka, sempat terjadi perdebatan antara Soekarno dan Hatta. Menurut Soekarno, yang penting kumpul dulu masyarakat. Sedangkan menurut Hatta, Anda ini hanya mengajak kumpul masyakat bung! Tapi tidak membangun pola pikirnya. Kata Soekarno, masyarkat itu miskin. Kita tidak punya banyak waktu. Cukup berikan kesadaran bahwa kita telah merdeka. Hatta masih dengan pendiriannya, yaitu mencerdaskan masyarakat. Akhirnya ia kecewa dan mendirikan PNI Baru. Bukan partai, melainkan Pendidikan Nasional Indonesia. Dari situ mendidik masyarkat yang mau dididik. Akhinrya yang besar adalah Soekarno. Dan hari ini, dari PNI Soekarno, lahirlah PDIP. Adapun Hatta dan Sutan Syahrir dengan PNI Baru hancur hari ini. Terakhir yang menjadi anak didik langsung mereka adalah seorang ekonom bernama Dr. Sjahrir. Walaupun Hatta gagal membentuk partai politik, ia berhasil membentuk kader-kader luar biasa.
Saat tahun 1966, dimana sedang terjadi pergantian kepemimpinan dari Soekarno ke Soeharto, orde lama ke orde baru, yang menjadi pemain besar saat itu adalah mahasiswa yang diwakili HMI. Namun ternyata, yang menjadi pemikir, yang membuat narasi-narasi besar bukanlah HMI melainkan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang pada akhirnya bergabung ke dalam HMI. Pada KAMI-lah banyak anak didik dari Hatta dan Sutan Syahrir. Mereka adalah kaum intelektual muda terdiddik yang membawa narasi besar bagi Indonesia.
Kesimpulan yang dapat kita ambil adalah penguatan intelektual dari setiap anak bangsa adalah solusi dari berbagai permasalahan Negara. Sayangnya, perpolitikan Indonesia saat ini cenderung membodohi masyarakat dengan segala instrumen yang mereka miliki. Partai politik pada umumnya juga mayoritas pejabat public hanya mengambil sebanyak-banyaknya suara masyarakat demi melanggengkan kekuasaan. Akal sehat serta rasionalitas masih berusaha masuk ke tengah gelanggang perpolitikan Negara yang kini menua namun belum cukup dewasa. Semoga tangan Tuhan ikut bermain dan mata-Nya ikut memperhatikan hasil akhir dari pemilihan umum Indonesia 2019 yang sangat sarat dengan kecurangan ini. Namun penulis percaya, kebenaran akan tetap menang kapan pun dan dimana pun.
Komentar
Posting Komentar