Uang
bukanlah segalanya, tapi segalanya membutuhkan uang. Bukan seberapa banyak uang
yang kau punya, tapi seberapa banyak hal apa yang bisa kau lakukan terhadap
dunia.
Sejatinya
Indonesia memiliki trah bangsa yang besar. Bagaimana tidak, di atas teritorial
ini terdapat 13.000 pulau dengan total penduduk 262.000.000, hidup bersatu di
bawah satu bendera merah putih, Indonesia. Konon katanya, dahulu kita adalah
bangsa yang sangat disegani. Julukan “Macan Asia” pun disematkan pada bangsa
ini. Belum lagi para pelaut kita yang sudah membuana di kala bangsa-bangsa lain
belum lagi bergerak jauh. Sungguh luar biasa bukan?
Jayalah
bangsaku! Jayalah Indonesia! Engkau boleh berkobar semangat. Engkau boleh berteriak
sekencang-kencangnya di puncak gunung tertinggi. Engkau boleh menghormati
bendera sepanjang pagi maupun siang. Namun, apakah bangsa kita yang tercinta ini
masih besar seperti dahulu? Mari kita lihat ke depan, dan tengok kanan kiri. Katakan
padaku apa yang sedang terjadi.
Karena
ekonomi, tak sedikit seorang anak berani menghalalkan segala cara dalam proses
belajarnya. Karena ekonomi, tak sedikit seorang ayah rela bekerja keras siang
malam hingga jarang ada waktu berkumpul bersama keluarganya. Karena ekonomi, tak
sedikit seorang ibu yang tega membunuh bayinya. Karena ekonomi pula, banyak
manusia telah menjelma menjadi binatang yang terus kelaparan. Naiknya harga
kebutuhan memang telah membuat banyak masyarakat mencoba berbagai macam cara
untuk bertahan dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Bak mencari peniti pada
kubangan. Rakus terhadap harta dan kekuasaan, tak peduli lagi mana halal mana
haram. Bahkan, Tuhan pun dapat
digadaikan dengan uang. Itulah realita kehidupan yang sering terjadi hingga
saat ini. Miris memang.
Dengan
fenomena seperti itu, berbagai kejadian berikutnya pun terjadi setiap hari,
yakni hilangnya kemerdekaan dan kedaulatan dalam bermanusia. Anak bangsa Indonesia
seperti mengemis pada bangsanya sendiri. Sehebat apa pun seseorang, dan sebaik
apa pun seseorang, mereka bisa kalah dengan uang. Siapa yang memiliki banyak
uang, dialah sang pemenang. Beberapa kali negeri ini direndahkan martabatnya
oleh pihak luar. Namun dengan mudahnya para pemangku kebijakan berkata lembut
pada lawan, keras pada kawan. Mereka belum memiliki nyali untuk bersikap tegas
terhadap tindakan yang merugikan bangsanya sendiri. Ini baru sepotong potret
anak bangsa bernama Indonesia. Kenapa bisa seperti itu? Bisa jadi karena negara
yang memiliki banyak utang dan kemiskinan masih mengakar kuat di bumi
Indonesia. Efek samping dari kemiskinan adalah meningkatnya angka kriminalitas pada
lingkungan masyarakat dari masa ke masa. Ketika negara berkata “Fakir
miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, maka sudah sampai manakah peran negara untuk
mengurusnya? Maka tak lain dan tak bukan, mereka adalah tanggung jawab kita
bersama.
Menurut
sosiolog David McClelland,”Suatu negara
bisa menjadi makmur bila ada pengusaha sedikitnya 2% dari jumlah penduduknya.”
Saat ini, angka pengusaha di Indonesia baru sebesar 1 sekian persen dari total
penduduknya. Jika dibandingkan dengan negara tetangga, angka terseut sangatlah
kecil dimana Singapur, Malaysia, dan Thailand masing-masing memiliki presentasi
pengusaha 7%, 5%, dan 3% dari total penduduk negaranya. Ini merupakan peluang
sekaligus tantangan bangsa Indonesia untuk menjadi negara yang makmur.
1400
tahun yang lalu, seorang manusia mulia telah memberikan contoh bahwa kewirausahaan itu sangatlah penting. Di usia 5
tahun, ia menggembala. Di usia 14 tahun, ia melakukan kegiatan magang
internasional bersama pamannya ke Syam. Kemudian di usia 25 tahun, ia menikahi
seorang saudagar yang juga bangsawan dengan mahar 150 unta merah dimana untuk
ukuran saat itu unta merah adalah kendaraan yang paling mahal. Tak hanya
sendiri, 9 dari 10 sahabat yang pertama kali masuk Islam pun adalah pengusaha. Ialah
Muhammad ibni Abdillah yang tercatat sebagai orang nomor satu paling
berpengaruh di dunia menurut Michael Heart. Ini merupakan sinyal kuat bahwa
Rasulullah Saw mencontohkan umatnya agar mandiri sejak kecil.
Jika
kita telah merasa cukup dengan kondisi harta yang telah dititipkan Allah saat
ini, maka berhati-hatilah bahwa rasa cukup itu bisa jadi sebuah tanda keegoisan
pada diri kita. Kita harus paham, dan mengerti bahwa ada banyak perut yang
harus diisi, ada kehidupan orang lain yang harus dibantu. Dunia bukan hanya
tentang kamu dan dia. Tapi lebih dari itu, ini tentang kita sesama warga planet
bumi.
Sejak
Agustus 2017, saya bersama kawan-kawan sekolah bisnis 501 melakukan edukasi
serta bimbingan bisnis agar terciptanya 1 juta pengusaha di tahun 2020. Kami
ingin membantu orang lain agar hidup mereka berubah lahir dan batin, sehat
spritual, sehat fisik, sehat mental, dan juga sehat keuangan. Berbagai kurikulum
sudah disiapkan dan terus diperbaiki. Bila ada penolakan atau bahkan cacian,
saya tidak begitu peduli karena bagi saya tidak semua orang siap dan ingin
diajak berubah. Saya mengimani bahwa bisnis bukan hanya sekedar untung atau rugi,
tapi lebih dari itu, bisnis adalah soal perubahan hidup manusia menjadi
sebaik-baik versinya. Bersama kawan-kawan sekolah bisnis 501, saya terus
bergerak. Kami inign membuat senyum pada wajah mereka. Memang, jumlah tersebut
tidaklah besar, bahkan menjadi kemustahilan bilamana dilakukan oleh satu
individu atau hanya segelintir orang saja. Perlu kekuatan tekad dan kerja-kerja
kolektif untuk mewujudkan itu semua. Ketika urusan perutmu selesai, maka
bersegeralah untuk membantu perut yang lain. Percayalah bila gerakan ini
dilakukan secara bersama, maka ummat ini akan cepat kokoh dan menjadi khalifatul ardh.
Jika Anda tertarik menjadi bagian dari 1 Juta Pengusaha, silahakan hubungi 0896-5213-0214.
Komentar
Posting Komentar