Hmm.. yeah!
Akhirnya gue menulis di blog ini lagi setelah lebih dari 3 tahun vakum dari penulisan. Rasanya tulisan adalah nyawa, kekuatan, senjata yang kekal keberadaannya. Dan izinkan gue sedikit berbagi pada permulaan yang baru ini...
Di sini gue akan berbicara soal kepemimpinan. Namun sebelum itu, gue ingin mengajak kalian semua untuk berjalan-jalan sejenak. Hehe... Ketika kalian pergi ke luar negeri, entah itu ke Eropa, Amerika, Australia tentu kalian melihat pemandangan yang sangat berbeda. Coba perhatikan jalan rayanya. Apa merek mobil yang kebanyakan di sana? Lamborgini? Ferrari? Ducati? Royal Royce? Volvo? Lexus? Ada lagi..? Mungkin kita akan sedikit norak atau merasa ‘wow’ ketika melihat pertama kali. Tentu kita akan bersikap wajar bila sudah terbiasa melihat mobil-mobil tersebut berlalu-lalang di jalanan sana.
Lantas, apa hubungannya mobil dengan merek-merek ternama dengan kepemimpinan?
Sstt.. tunggu dulu. Ini semua belum berakhir.
Sekarang, bayangkan jika mobil-mobil tersebut banyak berlalu-lalang di jalan raya Indonesia yang aspalnya suka ngga rata, yang kadang-kadang ada bolongannya, yang banyak belokannya, yang banyak jalan tikusnya, terkadang harus putar balik, dan terlebih lagi jalanan kota-kota yang sering macet pada jam-jam tertentu. Bayangkan! Apakah akan tercipta kenyamanan dengan mengendarai mobil merek tersebut? Atau yang ada adalah rasa khawatir jika kita yang mengemudi mobil tersebut terkena gores? Bensin yang boros karena macet? Susah kalo ada belokkan?
Dalam hal ini, kita boleh menganggap keren atau ‘wow’ merek mobil-mobil itu. Terlihat elegan jika memakainya. Bodinya yang besar menggoda. Dapat melesat kencang di jalanan. Namun, kehebatannya itu ngga bakal jadi apa-apa jika berjalan di jalanan yang banyak lubangnya, yang aspalnya ga rata, yang jalanannya sempit, dsb. Akan tetapi jika kita ingin mendapatkan kenyamanan dan kecocokan, maka yang harus kita lakukan adalah menggunakan mobil yang sesuai dengan medan atau jalanan yang akan kita lalui. Sama halnya dalam kepemimpinan. Sebagus apa pun seorang pemimpin dalam hal kepemimpianan di benak publik, ngga akan berguna mana kala lingkungan atau organisasinya menolak atau dalam hal ini budaya suatu organisasi ngga sesuai dengan karakteristik kepemimpinan yang ‘katanya’ bagus itu. Karena menurut Robbins (1996:289), budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu.
Pemimpin yang seperti itu tentu akan menghadapi banyak dilema. Antara diperlukan atau diabaikan. Ketika seorang pemimpin berhadapan dengan kondisi tersebut, maka dia harus bisa memilih antara menyesuaikan diri dengan budaya kerja organisasi atau pilihan yang paling berani adalah keluar dari organisasi tersebut jika jalan menghambatnya dan karena tidak adanya kecocokkan. Adapun pilihan, ngga ada salah atau pun benar. Semua tanggung jawab yang kembali pada setiap individu masing-masing.
Komentar
Posting Komentar