Di siang yang terik, ada seorang pemuda
yang memiliki toko kebutuhan sehari-hari bersama seekor bighalnya (baca: hasil
perkawinan silang antara keledai jantan dan kuda betina) yang sedang dalam
perjalanan menuju pasar untuk belanja kebutuhan toko. Ia berangkat dari desa
Ilang, tempat kediamananya. Namun, herannya
si pemuda tersebut tidak menuggangi bigholnya, akan tetapi jalan di
sampingnya. Seorang penduduk melihat hal tersebut dan berujar pada pemuda
tersebut,”Aneh, punya bighal malah dibiarin aja. Bukan dimanfaatin, malah
dibiarin aja.” Mendengar celoteh tersebut, si pemuda pun memberhentikan
langkahnya. Kemudian menunggangi bighalnya.
Setelah keluar dari desa Ilang, sampailah
ia di desa Alang. Salah satu ibu-ibu
yang sedang ngerumpi di sudut desa
berujar,”Lihat itu! Pemuda yang ngga tahu diri. Bighol kecil malah ditunggangi.
Tak berperasaan!” karena mendengar celotehan ibu tersebut, si pemuda pun turun
dari bigholnya. Tak harus berbuat apa. Akhirnya si pemuda tersebut membopong bigholnya.
Kemudian melanjutkan perjalanan menuju pasar. Belum lagi sampai ke pasar,
segerombolan anak kecil mentertawai tingkah laku pemuda yang membopong seekor
bighol. Sorak sorai pun tertuju pada sang pemuda. “Woyyy... lihat itu! Ada orang
bopong bighol. Hahaha.” Wajah pemuda tersebut pun merona, malu karena disoraki
anak-anak tersebut. Tak peduli, akhirnya sang pemuda tetap melanjutkan
perjalannnya sambil membopong bigholnya.
Yah, mungkin sebagian besar dari kita
sudah mengetahui kisah tersebut. Namun, apakah selama ini kita telah menangkap
pesannya?
Sebagai contoh, jika kamu seorang pemimpin
menggunakan pendekatan melayani kepada staffnya, maka akan ada yang berkata,
“Kamu tuh terlalu sabar!”
“ Ayo dong marah!”
“Kamu punya hak untuk itu. Tegas dikit ga
papa.”
Sebaliknya, seorang pemimpin mengggunakan
pendekatan tranformasional, mereka akan mendapati hal yang tidak jauh berbeda,
”Kamu itu egois! Coba pikirin yang lain”
“Rupanya kamu hanya melihat hasilnya yah.”
Dan sebagainya.
Dilema? Mungkin. Rapuh? Jelas. Tidak jarang
di antara kita begitu mudah merubah pendirian lantaran banyak mendengar kritik
yang destruktif dari orang lain sehingga kita terlihat plin-plan, tidak kokoh dengan apa yang telah kita bangun di awal. Kita
terlihat goyah. Jika demikian, hal tersebut mengindikasikan bahwa kita tidak
tepat pada saat menentukan komposisi pondasi di awal. Rapuh, tidak kokoh.
Mari belajar dari karang di lautan. Ia tetap
tegar diterpang ombak siang dan malam. Sekeras apa pun, ia tetap berdiri. Mari belajar
dari gunung, yang kehadirannya menguatkan bumi. Mari belajar dari baja, yang
ketika dihantam berkali-kali ia tetap seperti bentuknya. Hal ini tidak
mengajarkan kita untuk keras kepala, tapi untuk kuat dengan pondasi. Percaya dirilah!
Apakah bermanfaat jika kita banyak mendengar hal-hal yang melemahkan pendirian
kita, padahal mereka bukanlah orang yang membayar tagihan listrik kita, bukanlah
orang yang membayar bensin kita, bukanlah orang yang melahirkan dan membesarkan
kita, dan mereka bukanlah alasan untuk meredupkan impian kita. Tetaplah hidup
dengan dirimu, bukan dengan dirinya. Katakan saja, inilah aku yang egois menurutmu. Inilah aku yang
pemarah menurutmu. Inilah aku yang penyabar menurutmu. Inilah aku yang pemaaf menurutmu.
Inilah aku yang apa adanya. Aku tidak begitu peduli dengan apa yang mereka
katakan. Aku melakukan ini karena aku tahu dan aku memiliki alasannya.
Pada pidato Steve Jobs yang cukup terkenal
di Standford University, ada kalimat yang begitu dalam pesannya, yakni “Ikutilah
intuisimu. Jangan biarkan perkataan mereka menenggelamkan kata hatimu.” Jika kita
menggunakan standar dari kaca mata orang lain untuk membuat diri kita baik,
maka sampai kapan pun kita tidak akan pernah menjadi diri kita sendiri. Tetaplah
rendah di hadapan-Nya, setara di antara sesama, dan tinggi akan cita-cita. Karena
inilah aku...
Komentar
Posting Komentar