Sumber gambar: http://www.pojokan-artikel.com/2012/02/hikmah-mendengarkan-nasihat-orang-tua.html
Muqaddimah karangan Ibnu Khaldun menjelaskan
bahwa sejarah adalah ilmu sangat berharga, sangat bermanfaat dan sangat mulia
dalam tujuannya. Dari sejarah, kita dapat belajar mengenai kehidupan dan segala
aspeknya. Pun dalam keberjalanannya, sejarah itu akan berulang kembali, hanya
saja yang bermain perannya saja yang berbeda.
Pagi ini,
seperti 12 tahun lalu dan setiap tahunnya, saya duduk di kursi kayu tamu tak
jauh dari Atuk (kakek) di sebelah
kiri saya. Adapun Uwa (nenek) berada
di sebelah kanan saya, sedikit lebih jauh dari jarak kakek, ia duduk sambil memegang
Quran. Ketika saya sudah berada pada posisi seperti itu, artinya saya harus siap
mendengar petuah-petuah hidup Atuk. Ceritanya sama, dan terus diulang. Bahkan saya
nyaris hafal perubahan di episodenya. Memamng, mendengarkannya membutuhkan
kesabaran. Tidak ada tanya jawab, tidak boleh meninggikan suara, tidak ada sesi
diskusi, apalagi main handphone. Biar
begitu, saya percaya bahwa ada hikmah yang bisa diambil dan dihidupkan kembali.
Olehkarena itu, saya harus mendengkarkannya dengan seksama. Hal itu juga
berlaku pada cucu dan anak-anaknya dan siapa pun yang ada di dekatnya. Karena kami
paham, itulah yang diinginkan orang tua yang sudah sepuh, didengar dan
disayang.
Harus saya
akui, Atuk adalah sosok pejuang kehidupan yang luar biasa. Sejak usia balita, sudah
ditinggal kedua orang tuanya. Hidup susah dan mengembara ke sana-sini. Namun, biar
pun ia hidup miskin dan baru lulus SMA di usia 40 tahun, ia banyak melakukan
lompatan besar dalam hidupnya dan memiliki wawasan yang luas. Ia sering mendapat
amanah dari orang-orang di sekelilingnya pada saat itu. Karena ia ditempa oleh
kehidupan yang begitu keras saat itu. Ia banyak berfikir di setiap hari-hari
yang dilaluinya. Hingga atas kuasa-Nya Atuk menikah dengan Uwa dan melahirkan 4
anak yang hingga sampai saat ini masih hidup dan sehat wal aafiat.
Singkat cerita
Atuk diterima di perusahaan minyak Amerika yang bertempat di Riau, PT. Caltex Pacific
Indonesia (sekarang bernama Chevron Pacific Indonesia). Uniknya, walau hanya
lulusan SMA, Atuk menjadi orang yang sering diandalkan di perusahaan. Sempat pula
mewawancarai dan mempertimbangkan bapak Razif Halik Uno (Ayah Sandiaga Uno)
untuk bergabung ke dalam perusahaan minyak tersebsar Amerika itu. Ia pun menjadi
kepala training perusahan tersebut. Dimana semua orang yang akan melanjutkan
pendidikan ke luar negeri, akan ditraining dulu oleh Atuk yang notabenenya
adalah lulusan SMA. Peserta didiknnya lulusan S1 dan S2, sudah biasa melancong
ke luar negeri. Padahal Atuk belum pernah keluar negeri selain Singapur dan Arab
Saudi. Itulah kelebihannya. Saking pintar dan gigihnya, amanah yang di pegangnya
bukan hanya satu, tapi ada beberapa. Setiap bulan mendapat fasilitas yang cukup
dari kantornya. Setiap tahun mendapat uang cuti sebesar $ 10 USD. Cukup besar
pada saat itu. Atuk terus melakukan kontribusi yang luar biasa pada perusahaan
hingga masa pensiuannya.
Hidup
keluarganya cukup. Sesekali berlibur ke Singapur atau Jakarta. Anak angkat dan keluarga
besar dibantunya. Semua anaknya kuliah. Sampai di sini, saya belajar banyak
darinya mengenai mengatur anggota keluarga, kerja keras dan pantang menyerah.
Namun, ada
yang satu yang tidak Atuk lakukan, yaitu menginvestasikan uangnya. Kakek saya
hanya menabung uangnya di bank setiap menerima gaji dari perusahaan, tidak
memutarnya ke dalam investasi. Alhasil, hidupnya saat ini bergantung dari
pemberian anak-anaknya dan uang pensiunannya yang didapat 24 tahun silam. Apakah
cukup? Hmmm.. ya begitulah. Apakah salah? Ya tidak juga. Namun, terkadang
realita kehidupan menjadi bahasan sewaktu kita bertemu. Saat ini Atuk sangat perhitungan
dalam mengeluarkan uang. Benar-benar hemat dan menggunakan uang seperlunya. Tidak sedikit uangnya dihabiskan untuk biaya obat, dokter, terapi, kebutuhan sehari-hari. Bahkan
Atuk sudah melakukan perhitungan untuk menjual aset-asetnya untuk bertahan hidup di kemudian hari, tidak hanya untuk dirinya dan Uwa,
tapi sampai kepada keluarganya.
Belum lagi
cerita orang tua saya, om, tante, pakde, bunda, paman, dan bibi. Saya harus akui,
keluarga kami masih berjuang bagaimana bertahan hidup sehingga beberapa mulai berdagang
walaupun berstatus karyawan. Ada pula yang dagang apa aja yang penting ada
pemasukan agar dapur tetap ngebul. Bagaimana biaya membayar listrik, air, biaya
sekolah, kuliah, dan biaya kebutuhan yang terus melambung tinggi. Walaupun tidak
semua keluarga bernasib demikian, saya rasa masih banyak keluarga yang bernasib
serupa. Tidak bermaksud merendahkan, namun, cobalah kita selaku anak, yang diharapkan orang tua berpikir sejenak. Lantas, saya merenung, kalau seperti ini, kapan kita akan keluar dengan
persoalan tersebut. Kapan kita akan mengilhami banyak manusia, menjadi khalifah (pemimpin) layaknya Umar bin
Abdul Aziz dimana penerima zakat sulit ditemui atau seperti Umar bin Khattab
yang mengamankan kunci gereja Al Quds sehingga umat Kristiani dapat tertib dan
aman dalam beribadah.
Saya pun
berpikir, bahwa keluarga saya adalah tanggup saya. Dan untuk menyelamatkan segala
kebutuhannya di masa depan, tidak mungkin kalau saya hanya mengandalkan satu
sumber dana. Maka tak ada jalan lain, melainkan bisnis adalah jawaban. Namun, bukan
sekedar bisnis, yang saya ingin dan harus saya lakukan adalah bisnis yang dapat merubah
kehidupan manusia jauh lebih baik. Bisnis yang mengajarkan seorang hamba tidak takut
memberi atau berkurang harta. Bisnis yang mendekatkan makhluk dengan
penciptanya.
Pada akhir
tulisan ini, saya pun berpesan untuk diri saya pribadi dan anda semua,
khususnya untuk anak muda kelahiran 90-an, hidup kita ini untuk apa? Usaha yang
kita lakukan untuk bertahan atau untuk maju ke depan? Apa hasil investasi orang
tua terhadap diri kita selama ini? Dan mau seperti apa masa tua dan akhir hidup
kita? Tak jarang, kita merasa ingin lari dari suatu masalah. Tapi diam atau
bergeraknya kita, masalah akan tetap ada dan berlalu. Tinggal bagaiaman kita menyikapinya.
Kawan,
tidak ada kata terlambat untuk memulai kisah baru. Jangan sampai waktu luang
dan sehat menjadikan kita lalai. Waktu yang telah berlalu tidak akan kembali
lagi. Orang tua telah memberikan pelajaran betapa waktu itu amat singkat dan
berharga. Jika kita tidak menjadi lebih baik dari mereka, maka untuk apa kita
hidup dan hadir di dunia ini? Uang memang bukan segalanya, namun siapkah kita
menghadapi realita kehidupan di depan mata?
Tangerang, 24 Juli 2018
17.30 WIB
Komentar
Posting Komentar